Opini

Struggle from within

Pada masa awal hijrah setelah lulus kuliah, saya kembali mengenang bagaimana berpindah dari suasana kampung yang sejuk dan tentram menuju kota yang sibuk dan macet. Ada semacam pendidikan berkelanjutan yang saya alami dari aktivitas biasa saja ke aktivitas yang mendidik. Menetap di rumah orang memang tidak sama seperti menetap di rumah sendiri, apalagi secara garis keturunan tidak memiliki ikatan keluarga secara langsung, akan ada kebiasaan yang menjadi penilaian pemilik rumah tentang kita sebenarnya.

Inilah yang saya jaga saat menetap di Malang, Jawa Timur, akhir tahun 2014 silam. Kerasnya kehidupan dan kuatnya tuntutan memaksa saya berpindah dan mencari ilmu, pengalaman dan keluarga baru. Bersyukur ada orang baik yang berbesar hati menerima saya dan beberapa teman dari daerah yang notabene masih papa. 

Rumah yang kami tempati cukup mewah dalam ukuran anak pedesaan seperti saya, ada taman dan juga burung peliharaan pemilik rumah, sesekali teman-teman naik ke lantai satu untuk melihat pemandangan indah. Ada Gunung Arjuna menjulang tinggi di kelilingi kabut yang memberi rona mewah suasana. Semua berkata bahwa keindahan yang ada telah membuat susah sedikit berkurang. Ternyata masih ada harapan untuk tetap berjalan hingga rencana-rencana yang ada terealisasi. 

Setiap shubuh, kami bangun meski harus dipaksa, namanya juga di rumah orang, harus menyesuaikan diri meski teramat berat. Shubuh di Malang yang dingin tidak sama dengan di Sumbawa yang panas. Memaksakan diri ke masjid bersama pemilik rumah jadi rutinitas dan setelahnya kita mengambil pekerjaan yang sedianya jadi inisiatif maupun diminta pemilik rumah seperti mengepel, menyapu, menyiram hingga membersihkan pekarangan rumah. 

Bagian membersihkan teras rumah, mencuci dan membersihkan kotoran burung sudah menjadi pekerjaan yang kadang saya lakoni sembari kawan yang lain membersihkan ruang tamu, dapur, mencuci motor, menyapu halaman dan mencabut rumput di selokan. Pekerjaan ini mungkin keras bagi kawan-kawan yang terbiasa hidup dengan kenyamanan. Bagi saya, ini rutinitas biasa bagi anak kampung yang dipaksa keadaan untuk bekerja dengan apapun bentuk pekerjaannya. 

Hari-hari kami lewati dalam didikan yang tidak pernah kita dapatkan di perguruan tinggi. Bekal ilmu yang akan menjadi perisai kami berhijrah ke tempat lain. Sungguh di masa itu, jika dikenang kembali, akan ada kesyukuran, terima kasih dan doa yang tiada hentinya untuk mentor kami di Malang. Setelah kami ditempa dan dibina, kami bersiap untuk hijrah ke belahan dunia lain yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Bekerja di timur tengah bukan persoalan gaya-gayaan, melainkan pembelajaran berkelanjutan dari pendidikan sebelumnya juga mengajari hati bahwa proses ini akan jadi pembeda. 

Hingga suatu waktu ditakdirkan berada di Saudi Arabia, tempat yang lebih keras dari penghidupan di Malang. Jangankan tertawa, senyum saja kami jarang melakukannya. Bukan karena uang tak punya tapi menyesuaikan dengan budaya kerja disana. Kultur, adat istiadat dan cuaca memberi dampak yang signifikan bagi kelangsungan proses hijrah. Benar, hanya beberapa kawan yang bertahan, lainnya pulang kembali ke Indonesia. Ada 3 hal yang bisa saya ambil hikmahnya mengapa bertahan menjadi salah satu pilihan dari seluruh proses yang saya lalui. Pertama, tidak ada pilihan lain dalam bekerja, karena jika kembali ke Indonesia, sama saja mundur kebelakang.

Kedua, didikan agar betah dari mentor menjadi penguat bahwa semua proses tidak ada yang instan dan setiap keberhasilan harus dilalui dengan air mata. Setiap yang pernah merasakan sukses pernah juga merasakan bagaimana berada di bawah. Fase ini harus kita jalani untuk melompat lebih tinggi.  

Ketiga, keadaan yang memaksa. Pemaksaan terhadap kesulitan harus kita lewati sembari bersabar bahwa masa-masa deawasa awal harus di isi dengan ketidaknyamanan. Disinilah kemudian ketahanan diri di uji, bukan seberapa besar kita melompat dari setiap fase yang ada tapi seberapa kuat kita bertahan meski dalam keadaan terpaksa.

Hikmah tersebut tentu tidak bersumber dari pembelajaran lapangan semata, ada yang mengawalinya yaitu orang-orang baik yang rela mengorbankan waktunya untuk mendidik kita, tidak hanya dalam ilmu untuk meningkatkan kapasitas diri yang mengarahkan kita menjadi lebih baik tapi juga dalam adab yang memungkinkan kita berprilaku sebagaimana mestinya yaitu berterima kasih atas segala kebaikan dan jasa yang sudah diberikan.

Setiap ada dialog dengan rekan sejawat, mereka selalu bertanya prihal siapa yang menginspirasi saya sehingga bisa mencapai titik seperti ini. Dengan geliat canda saya menjawab mereka bahwa ada orang baik yang merelakan waktunya untuk tetap memotivasi saya belajar, kata-katanya telah menjadi cambuk untuk berbenah. 

Saya seolah diingatkan oleh waktu, berselancar di masa awal bekerja 8 tahun lalu, bahwa jasa-jasa beliau masih tetap melekat dan dikenang, susah sedih terbayarkan pada masa itu berkat bantuan beliau. Memang tidak ada materi yang bisa diberi tapi setidaknya beliau bisa melihat keberhasilan yang kita capai. Itu sudah menyenangkan. Ibarat guru yang melihat anak-anaknya berhasil, itu kebahagiaan luar biasa. Karena orang-orang diluar akan bertanya “siapa gurunya” saat kita sukses, bukan “siapa orang tuanya”. Tetapi jika mneyangkut adab, orang akan bertanya “siapa orang tuanya” bukan “siapa gurunya”. 

Semoga rangkaian waktu yang kita jalani saat ini setidaknya memberi kenangan bahwa ada jasa orang lain yang menjadikan kita manusia not only to have but to be.  


Bagi Sahabat DSA yang ingin berkontribusi mengirimkan artikel opininya di kolom kami, bisa melalui email info@devisaudia.com | Artikel dalam Ms. Word, A4 | Sertakan bionarasi singkat maksimal 150 karakter dan foto diri

Akhir Fahruddin S. Kep., MPH, RN
Latest posts by Akhir Fahruddin S. Kep., MPH, RN (see all)

Akhir Fahruddin S. Kep., MPH, RN

Occupational Health Nurse (OHN) at Elaj Medical Company, Riyadh, Arab Saudi | Head of DSA Review Center | www.devisaudia.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *