Kabar Saudi

Nikah dalam Keadaan Ihram? Bolehkah?

Akhir-akhir ini jagat maya dunia sedang dihebohkan oleh dua pasangan yang melaksanakan akad nikah di Masjidil Haram, Makkah, Al Munawwaroh. Kedua pasangan tersebut asli orang Indonesia.

Ihram” itu sendiri berarti ‘Haram’, atau menurut istilahnya adalah memasuki wilayah yang didalamnya berlaku keharaman. Istilah ini untuk umat islam yang sedang dalam hajat ibadah umrah maupun haji.

Lalu, pertanyaannya, apakah boleh dan sah jika melaksanakan nikah pada saat ihram? Apa saja hukumannya jika melanggar? Dan bagaimana yang seharusnya dilakukan?

Sebagaimana kaidah dalam beribadah, seorang muslim dituntut untuk berilmu dulu baru beramal. Jangan sampai, ada orang yang beramal atau beribadah tanpa mengetahui dulu dasar ilmunya.

Kata “Ihram” berasal dari kata “al-hara” yang berarti larangan atau sesuatu yang terlarang. Kata “ihram” adalah bentuk mashdar dari fi’il madhi dan mudhari’nya “ahrama yuhrim”. Makna kata ihram adalah memasuki wilayah yang di dalamnya berlaku keharaman.

Diantara larangan-larangan saat berihram adalah

1. Mencukur rambut dari seluruh badan (seperti rambut kepala, bulu ketiak, bulu kemaluan, kumis dan jenggot).

2. Menggunting kuku.

3. Menutup kepala dan menutup wajah bagi perempuan kecuali jika lewat laki-laki yang bukan mahrom di hadapannya.

4. Mengenakan pakaian berjahit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh bagi laki-laki seperti baju, celana dan sepatu.

5. Menggunakan harum-haruman.

6. Memburu hewan darat yang halal dimakan. Yang tidak termasuk dalam larangan adalah: (1) hewan ternak (seperti kambing, sapi, unta, dan ayam), (2) hasil tangkapan di air, (3) hewan yang haram dimakan (seperti hewan buas, hewan yang bertaring dan burung yang bercakar), (4) hewan yang diperintahkan untuk dibunuh (seperti kalajengking, tikus dan anjing), (5) hewan yang mengamuk (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 210-211)

7. Melakukan khitbah dan akad nikah

8. Jima’ (hubungan intim). Jika dilakukan sebelum tahallul awwal (sebelum melempar jumroh Aqobah), maka ibadah hajinya batal. Hanya saja ibadah tersebut wajib disempurnakan dan pelakunya wajib menyembelih seekor unta untuk dibagikan kepada orang miskin di tanah suci. Apabila tidak mampu, maka ia wajib berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari pada masa haji dan tujuh hari ketika telah kembali ke negerinya. Jika dilakukan setelah tahallul awwal, maka ibadah hajinya tidak batal. Hanya saja ia wajib keluar ke tanah halal dan berihram kembali lalu melakukan thowaf ifadhoh lagi karena ia telah membatalkan ihramnya dan wajib memperbaharuinya. Dan ia wajib menyembelih seekor kambing.

9. Mencumbu istri di selain kemaluan. Jika keluar mani, maka wajib menyembelih seekor unta. Jika tidak keluar mani, maka wajib menyembelih seekor kambing. Hajinya tidaklah batal dalam dua keadaan tersebut (Taisirul Fiqh, 358-359).

Kesimpulan

Terlepas dari apakah pasangan tersebut sudah selesai masa ihram nya atau belum, wallahu’alam. Kami belum mengetahui dan kita perlu bertabayyun (konfirmasi) dulu bagaimana keabsahannya. Tidak boleh menghukumi sesuatu hanya dari penilaian kita sendiri apalagi hanya dari sosial media.

DSA

DSA

CHANNEL DSA adalah channel khusus berbagi info Career, Experience, Professional Examination, Job Vacancy, Tips & Trik Aman Bekerja di Timur Tengah | www.devisaudia.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *